Menurut sumber dari Wikipedia, Nyadran adalah serangkaian upacara yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, terutama Jawa Tengah. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah tradisi pembersihan makam oleh masyarakat Jawa, umumnya di pedesaan. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya berupa kenduri selamatan di makam leluhur.
Nyadran merupakan salah satu tradisi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan yang biasa dilakukan saat Nyadran atau Ru wahan adalah:
Nyadran biasanya dilaksanakan pada setiap hari ke-10 bulan Rajab atau saat datangnya bulan Sya’ban. Dalam ziarah kubur, biasanya peziarah membawa bunga, terutama bunga telasih. Bunga telasih digunakan sebagai lambang adanya hubungan yang akrab antara peziarah dengan arwah yang diziarahi. Para masyarakat yang mengikuti Nyadran biasnya berdoa untuk kakek-nenek, bapak-ibu, serta saudara-saudari mereka yang telah meninggal. Seusai berdoa, masyarakat menggelar kenduri atau makan bersama di sepanjang jalan yang telah digelari tikar dan daun pisang. Tiap keluarga yang mengikuti kenduri harus membawa makanan sendiri. Makanan yang dibawa harus berupa makanan tradisional, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur dengan lauk rempah, prekedel, tempe dan tahu bacem, dan lain sebagainya.
Nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha. Sejak abad ke-15 para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima. Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agam Islam dinilai musrik. Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelasraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa. Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.
Belum lama ini, tepatnya hari Jum’at (9/8/2019) yang lalu, Dusun Pilangbangu Desa Kedungprahu acara tradisi nyadranan berlangsung meriah penuh keakraban dan persaudaraan.
Nyadran dilakukan oleh masyarakat Dusun Pilangbangu, Kartono Kasun Pilangbangu dan juga dihadiri oleh Muladi Babinsa di lokasi Punden Ki Biri.
Ki Biri sendiri adalah Leluhur Desa Kedungprahu. Kedungprahu aman, tentram, makmur, dan lohjinawi dengan pemimpin Ki Biri kepercayaan masyarakat Kedungprahu dan yang berhasil Membereskan persoalan tentang perampok Bahu Kuncoro yang kemudian menjadi pejabat karena kemuliaannya. salah satu pemimpin Desa Kedungprahu.
Menurut Kepala Dusun Pilangbangu Kartono, bahwa kedepannya diharapkan tradisi ini tetap berkelanjutan. (Lucky)